A. Pengertian Belajar
Manusia dilahirkan dan hidup
didunia untuk memperoleh pemahaman dan wawasan yang baru. Cara untuk memperoleh
hal tersebut adalah dengan belajar, sampai akhir hayatnya. Belajar ada
kaitannya adalah usaha yang dilakukan siswa untuk menambah pengetahuan,
pengalaman dan perkembangan mental yang akan mengasilkan hasil belajar yang
baik dan siswa akan memperoleh kemandirian sebagaimana yang dinyatakan oleh
Gagne dan Hilgard (dalam Hanafiah dan Suhana, 2010:7) bahwa “Belajar merupakan
suatu perubahan yang diakibatkan karena sebuah pengalaman”.
Belajar memerlukan proses
yang cukup lama untuk mendapatkan keberhasilan terhadap perkembangan hidupnya.
Dengan demikian, belajar merupakan kegiatan yang sangat penting bagi manusia.
Asep Jihad dan Abdul Haris (2013:1)
menyatakan bahwa “Belajar adalah
kegiatan berproses dan merupakan unsur yang sangat fundimental dalam penyelenggaraan
jenis dan jenjang pendidikan, hal ini berarti keberhasilan pencapaian tujuan
pendidikan sangat tergantung pada keberhasilan proses
belajar siswa di sekolah dan lingkungan sekitarnya”.
Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi
lebih luas dari itu yakni mengalami. suatu proses atau kegiatan untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku dengan memperoleh suatu informasi baru
melalui pengalaman. Oemar Hamalik (2014:36) menyatakan bahwa “Modifikasi atau
memperteguh kelakuan melalui pengalaman”. Berdasarkan pengertian ini belajar
merupakan suatu proses, suatu kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan.
Berdasarkan definisi menurut para ahli di
atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses yang sangat
positif dalam aspek pengetahuan, pengalaman, sikap, kepribadian, dan
keterampilan seseorang yang dilakukan secara sadar dan bertahap melalui
pengalaman untuk lebih menambah wawasan seseorang. Bukti bahwa sesorang sudah
belajar adalah terjadinya perubahan pola pikir, tingkah laku dan keterampilan
yang semakin berkembang baik yang pada awalnya tidak memahami menjadi dapat
memahami.
B.
Teori Belajar
Teori belajar
merupakan sebuah landasan yang mendasari terjadinya suatu proses pembelajaran.
Banyak sekali teori yang berkaitan dengan proses belajar. Masing-masing teori
tersebut memiliki pandangan tersendiri. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Susanto (2013:96) bahwa
“Teori konstruktivisme dalam pembelajaran menerapkan pembelajaran kooperatif
secara intensif, atas dasar teori bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan
memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling mendiskusikan
masalah-masalah itu dengan temannya”. Pendapat yang hampir serupa dinyatakan
oleh Yaumi (2013:28-35) bahwa teori-teori belajar sebagai berikut:
1). Teori belajar behaviorisme
Belajar menurut kaum behaviorisme adalah
perubahan dalam tingkah laku yang dapat diamati dari hasil hubungan timbal
balik antara guru sebagai pemberi stimulus dan murid sebagai respon tindakan
stimulus yang diberikan.
2). Teori
pemrosesan informasi
Teori pemrosesan informasi memandang
belajar sebagai upaya untuk memproses, memperoleh, dan menyimpan informasi
melalui memori jangka pendek dan memori jangka panjang yang terjadi dalam diri
siswa.
3). Teori
skema dan muatan kognitif
Teori skema pertama kali dicetuskan oleh Piaget pada tahun 1926, teori
ini membahas proses belajar yang menyebabkan asimilasi, akomondasi, dan
skemata.
). Teori
belajar situated
Pandangan umum tentag teori ini adalah
jika kita membawa siswa pada situasi dunia nyata dan berinteraksi dengan orang
lain, saat itulah terjadi proses belajar.
5). Teori
belajar konstruktivisme
Belajar dalam pandangan konstruktivisme benar-benar menjadi usaha
individu dalam mengkonstruksi makna tentang suatu yang dipelajari. Teori-teori
belajar yang dinyatakan oleh Suprijono (2013:16) hampir serupa dengan teori di
atas bahwa:
1.
Teori perilaku
Teori
perilaku bersumber dari pemikiran behaviorisme. Dalam respektif behaviorisme
pembelajaran diartikan sebagai proses pembentukan hubungan antara rangsangan (stimulu)
dan balas (respond).
2.
Teori belajar kognitif
Pandangan teori belajar kognitif, belajar merupakan
peristiwa mental, bukan peristiwa behavioral meskipun hal-hal yang bersifat
behavioral tampak lebih nyata hampir dalam setiap peristiwa belajar. Perilaku
individu bukan semata-mata respon terhadap yang ada melainkan yang lebih
penting karena dorongan mental yang diatur oleh otak.
3.
Teori belajar kontruktivisme
Teori ini menganggap pemikiran filsafat kontruktivisme
mengenai hakikat pengetahuan memberikan sumbangan terhadap usaha
mendekonstruksi pembelajaran mekanis.
Bersumber pada teori-teori di atas,
peneliti menggunakan teori kontrukvisme sebagai landasan penelitian untuk
meningkatkan hasil belajar dan kemampuan berpikir kritis matematis siswa. Teori
kontruktivisme menghendaki bahwa pengetahuan siswa dibentuk sendiri oleh setiap
individu dan pengalaman yang merupakan kunci dari belajar yang didapatkan oleh
siswa dari hasil belajar kelompok seperti model pemebelajaran cooperative
learning tipe TGT.
C.
Berpikir Kritis
Berpikir merupakan sebuah aktivitas yang
selalu dilakukan manusia, bahkan ketika sedang tertidur. Berpikir sering
dilakukan oleh manusia untuk membentuk kosep, membuat keputusan, bernalar, dan
menyelesaikan masalah dengan kemampuan yang tidak terbatas. Berpikir merupakan
salah satu daya yang paling utama dan menjadi ciri khas yang membedakan manusia
dengan hewan.
Sebagaimana pernyataan
menurut Santrock (dalam Rahmawati, 2014:15) bahwa “Berpikir adalah memanipulasi
atau mengelola dan mentransformasi informasi dalam memori. Berpikir sering
dilakukan untuk membentuk konsep, bernalar dan berpikir
secara kritis, membuat keputusan, berpikir kreatif, dan memecahkan masalah”.
Berpikir merupakan bagian dari kegiatan yang selalu dilakukan otak untuk mengorganisasi
informasi guna mencapai suatu tujuan, maka berpikir kritis merupakan bagian
dari kegiatan berpikir yang juga dilakukan oleh otak.
Berpikir
kritis adalah kemampuan berpikir tingkat tinggi dalam memecahkan masalah secara
sistematis. Kemampuan berpikir kritis merupakan salah satu aspek penting yang
sangat diperlukan siswa dalam proses pembelajaran matematika, terutama untuk
membantu siswa dalam menyelesaikan masalah-masalah matematika yang sulit
(non-rutin) pada materi statistik. Hal ini dikarenakan penggunaan
berpikir kritis yang tepat akan sangat membantu siswa dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika
sebagaimana pernyataan yang dikutip oleh Wulandari (2017:39) bahwa “Berpikir
kritis adalah aktivitas mental individu untuk membuat keputusan dalam
memecahkan masalah yang dihadapi dengan berbagai informasi yang sudah diperoleh
melalui beberapa kategori”.
Berpikir kritis memiliki beberapa aspek yang harus dipenuhi
Salah satu pendekatan pembelajaran yang diduga dapat meningkatkan kemampuan
berfikir kritis matematis siswa MTs Al-Falah Nagrak adalah cooperatif
learning tipe TGT. Facione (2013:5)
menyatakan bahwa “Aspek kemampuan berpikir kritis terdiri dari 6 aspek, yaitu interpretasi (interpretation),
analisis (analysis), kesimpulan (inference), evaluasi (evaluation),
penjelasan (explanation), dan pengaturan diri (self-regulation)”.
Berdasarkan
pengertian para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis
yang dimiliki setiap orang berbeda-beda. Berpikir kritis adalah kemampuan
setiap orang untuk menganalisis ide atau gagasan ke arah yang lebih spesifik
untuk mengejar pengetahuan yang relevan tentang dunia dengan melibatkan
evaluasi bukti. Kemampuan berpikir kritis sangat diperlukan untuk menganalisis
suatu permasalahan hingga pada tahap pencarian solusi untuk menyelesaikan suatu
permasalahan.
Orang-orang yang memiliki
kemampuan berpikir kritis tidak hanya mengenal sebuah jawaban. Mereka akan
mencoba mengembangkan kemungkinan-kemungkinan jawaban lain berdasarkan analisis
dan informasi yang telah didapat dari suatu permasalahan. Berpikir kritis
berarti melakukan proses penalaran terhadap suatu masalah sampai pada tahap kompleks tentang “mengapa”
dan “bagaimana” proses pemecahannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar